Filosofi Sarung

Filosofi Sarung

Tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Salah satu ciri khas dari santri adalah kain sarung yang dipakai oleh santriwan, meskipun ada juga santriwati yang juga mengenakan sarung untuk pakaian bawahan.

Saya mengenal sarung dari sejak saya kecil. Di lingkungan tempat tinggal saya, sarung dikenakan oleh kaum laki-laki dalam berbagai momen. Sarung digunakan ketika sholat, menghadiri acara hajatan, kenduri, takziah, dan bahkan bertamu. Selain itu, sarung juga digunakan ketika ronda dan sering juga digunakan sebagai selimut. Dulu, para pencuri menutup wajahnya dengan sarung yang diikat di kepalanya dengan menyisakan kedua matanya saja yang terlihat.

Sarung memiliki filosofi ‘sarune dikurung“. Maksudnya adalah sebuah nasehat kehidupan agar manusia mengedepankan rasa malu, tidak sombong dan arogan. Filosofi lain adalah nasehat agar tidak berlebihan, dan tidak serakah. Nafsu tamak harus dibatasi.

Sarung melambangkan kesederhanaan dan fleksibilitas. Hal ini tercermin dari berbagai macam fungsi sarung yang sudah saya sebutkan di sebelumnya. Kaum laki-laki akan menggulung kain sarung diperutnya. Gulungan itu menyiratkan pesan agar senantiasa menjaga silaturahim antar sesama.

Menurut Ustadz Adi Hidayat, jika kaum laki-laki sudah pakai sarung, artinya mereka siap meyelimuti diri mereka dengan syariat. Orang memakai sarung itu pertanda bahwa dia siap menunaikan syariat. Dahulu, orang mengenakan sarung dengan berpakaian baju koko, baju takwa. Hal itu mengisyaratkan bahwa si pemakai siap untuk bertakwa kepada Allah SWT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga