Toxic Positivity
Selama ini kita selalu berpikir bahwa yang positif itu selalu baik dan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Tetapi hal positif yang berlebihan dan tidak pada tempatnya dalam menerapkannya justru akan menimbulkan masalah. Seperti yang akan saya bahas kali ini mengenai toxic positivity.
Apakah toxic positivity itu? Toxic positivity bisa diartikan pikiran positif yang tidak baik untuk kesehatan mental. Ada juga yang mengartikan kepositifan yang beracun. Mengapa tidak baik dan beracun? Karena hanya berfokus pada sisi positif saja dan menyangkal segala emosi negatif yang ada. Padahal dalam hidup ini yang namanya emosi negatif itu natural dan tidak perlu ditutup-tutupi atau dihindari dan disangkal kemunculannya.
Ketika ada teman kita yang sedang mengalami kegagalan usaha misalnya, sering sekali kita langsung memberi nasehat dengan mengatakan, “Tetap semangat”, “Jangan menyerah,” “Kamu harus bersyukur karena ada yang lebih menderita dibandingkan kamu”, dan ungkapan-ungkapan motivasi sejenis lainnya. Sekilas memang sangat membantu kalimat-kalimat tersebut, tetapi ada satu hal yang terlupa, yaitu empati.
Ketika kita menggunakan empati, maka kita tidak akan langsung memberi nasehat pada teman yang mengalami kegagalan tersebut, melainkan membiarkan dia bercerita untuk mengekspresikan segala kegundahannya atas kegagalan yang dialaminya. Setelah selesai bercerita, baru kita memberi respon dengan mengatakan misalnya: “Aku bisa merasakan kesedihanmu, memang tidak mudah menghadapinya. Aku akan selalu mendukungmu.” Dengan kalimat semacam itu teman kita mendapatkan validasi bahwa perasaan negatifnya baik-baik saja. It is OK not to be OK.
Ternyata toxic positivity memiliki dampak negatif bagi kesehatan mental. Seseorang yang sedang mengalami kegagalan bisa saja merasa tidak didengarkan, dimengerti, dan difahami kondisinya ketika langsung diberi motivasi berupa kalimat-kalimat positif. Akibatnya justru dia akan semakin stress. Selain itu bisa juga orang tersebut merasa disalahkan dengan apa yang sedang dirasakannya dan membuatnya menghindari emosi yang sesungguhnya. Jika dalam hidupnya selalu diingatkan dengan kata-kata “be happy”, “positive vibes only”, misalnya, maka tidak heran dia akan mengingkari emosi yang sedang terjadi dan sedang dirasakannya.