SELALU ADA BALASAN ATAS APA YANG KITA PERBUAT
Sejatinya, apasaja yang kita perbuat, baik atau buruk, akan kembali pada kita sendiri. Balasan dari perbuatan itu pasti datang, entah dalam waktu dekat atau setelah sekian lama dari kejadian itu. Balasan itu juga tidak selalu datang pada kita. Bisa jadi terjadi pada anggota keluarga kita yang lain. Dan balasan itu bisa dalam bentuk kebaikan yang lain, tidak sama persis dengan jenis kebaikan yang kita lakukan. Pun dengan keburukan.
Irma Jhonson, seorang pegawai di sebuah restoran cepat saji, sungguh membuat saya terharu. Tak bisa berkata-kata. Bahkan air mata mengalir tak terbendung tanpa sadar. Irma sudah tidak muda lagi saat menerima kebaikan yang ia kerjakan puluhan tahun silam. Ia bahkan tak pernah menyangka akan mendapatkan balasan dari orang yang pernah ia beri kebaikan. Ia Ikhlas membantu. Itu saja yang ada dalam hatinya.
Hari itu, seperti biasa Irma melayani setiap pembeli dengan ramah dan baik. Tiba-tiba, datang seorang pembeli laki-laki. Gayanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sombong. Irma sedang melamun saat Jeb datang. Jeb memanggil Irma berkali-kali. Ketika Irma menyambut Jeb ramah, Jeb pun mengelarkan kata-kata kasar dan memintanya agar bisa segera dilayani. Setelah menyebutkan satu jenis makanan dan satu jenis minuman, ia memberikan uang dengan cara melemparnya. Tak lama setelah memesan, Irma datang membawa menu yang ia pesan.
Tak berapa lama setelah Jeb duduk, datang seorang wanita muda dengan kondisi lusuh dan tampak sedang bersedih hati. Wanita muda itu ingin meminta izin untuk menggunakan wifi di restauran itu untuk melakukan panggilan pada saudaranya karena HP nya tidak ada kuota. Ia juga tidak punya uang sama sekali. Ia mengatakan bahwa ia barusaja bertengkar dengan suaminya.
Saat wanita itu sedang berbincang dengan Irma, tiba-tiba Jeb mendekati mereka. Jeb kesal karena chocolate milkshake yang ia pesan tidak sama dengan yang ia pesan. Ia memesan yang dingin, tapi Irma memberinya yang tidak dingin.
“Kenapa pesanan saya tidak sesuai dengan yang saya minta? Apakah Anda tuli?” Tanya Jeb sambil menaruh kasar milkshake itu di meja dekat kasir. Ia sempat mengancam Irma bahwa ia akan melaporkan kejadian itu pada manajernya yang merupakan temannya. Dan itu bisa berujung pada pemecatan dirinya.
Mendengar kata “tuli”, wanita muda itu pun menjawab, “Tidak. Andalah yang tuli. Ibu Irma meminta Anda untuk menunggu sebentar karena sedang berbicara dengan saya, tapi Anda tetap nerocos.”
Jeb naik darah mendengar kalimat wanita muda itu.
“Hey, jangan ikut campur. Urusi saja urusan Anda.” Wajah Jeb mulai memerah dan nada bicaranya sudah makin naik.
“Mengapa saya harus peduli pada perempuan gelandangan sepertimu?” Jeb mengatakan hal itu dengan tatapan penuh amarah.
Wanita muda itu hanya bisa menangis. Ia sedang sedih, tapi kini ia menemui orang yang membuatnya makin sedih dengan kata-kata kasar dan sikap yang sangat sombong.
“Apa yang bisa saya lakukan, Tuan? Saya bisa mengganti minuman itu jika memang tidak sesuai dengan yang Anda pesan.”
Kemarahan Jeb makin membara. Karena Irma sudah kesal, makai a meminta Jeb untuk meninggalkan restaurant itu. Ia meminta wanita muda itu untuk mendekatnya agar ia bisa selamat dari ulah laki-laki itu. Ketika wanita itu sudah berada di dekat Irma, tiba-tiba Jeb mengangkat gelas yang berisi milkshake itu. Lalu ia menumpahkannya di atas meja dekat kasir higga mengotori seluruh permukaan meja. Tak berhenti sampai di situ. Ia lemparkan gelasnya ke arah dua wanita tak bersalah itu. Keduanya pun menjerit dan saling berpelukan untuk saling melindungi.
Di saat yang sama, Mr. Robert Durand, pengusaha sukses yang akan bertemu Jeb, memasuki restaurant cepat saji itu. Ia melihat seluruh perilaku sombong Jeb. Ia tak bisa berkata-kata menyaksikan perlakuan Jeb ke Irma Jhonson dan wanita muda itu. Saat berjalan keluar, Jeb tidak sadar bahwa yang berdiri di dekat pintu menyaksikan drama yang ia buat itu adalah orang yang akan ia temui untuk urusan bisnis.
Wajah Robert memerah. Kemudian, ia pun keluar mengikuti Jeb. Mereka bertemu di sebuah tempat di seberang restauran itu. Ketika bertemu, Robert pun mengatakan bahwa ia membatalkan keinginannya untuk berinvetasi di perusahaan Jeb. Awalnya Jeb mengira Robert sedang bercanda. Tapi, setelah melihat wajah Robert yang serius tanpa senyum sedikit pun, Jeb akhirnya sadar bahwa Robert tidak main-main dengan apa yang ia ucapkan. Lalu, ia pun menanyakan alasannya.
“Karena saya tidak akan pernah berbisnis dengan orang yang tega melemparkan gelas chocolate milkshake ke arah dua wanita yang baik dan tak berdosa,” Jawab Robert sambil menahan amarah.
“Oh, kedua wanita itu tidak menghormati saya. Tapi…” belum selesai Jeb berkata, Robert memotong kalimatnya.
“Tidak. Sekali ini, diamlah dan dengankan saya.”
Akhirnya Jeb pun terdiam. Ia menyimak apa yang akan dikatakan Robert.
“Dulu,” Robert mengawali ceritanya, “saat saya masih muda dan menjadi pebisnis pemula, saya sangat butuh tempat yang menyediakan wifi sehingga saya bisa duduk dan menyelesaikan pekerjaan saya. Atas kebaikan hati Irma Jhonson-lah saya bisa duduk dengan nyaman dan menyelesaikan pekerjaan saya di restaruan itu.”
Wajah Jeb mulai berubah, dari yang tadinya sombong menjadi tampak takut.
“Tapi Anda, Jeb, ternyata Anda adalah seorang bedebah yang brpikir bisa memperlakukan Irma Jhonson seperti yang Anda lakukan tadi.”
“Tttt…tapi…tapi…” Jeb ingin menjelaskan lebih lanjut alasannya. Tapi Robert segera memintanya untuk diam dan melanjutkan kalimatnya. Robert berkata dengan pelan tapi penuh kemarahan.
“Uang 300 juta dolar yang Anda harapkan untuk saya investasikan ke perusahaan Anda, lupakan saja. Saya tidak akan mengeluarkan sesen pun dari uang saya. Satu sen pun. Agar bisa memberi pelajaran pada Anda untuk tidak membuat masalah dengan Irma Jhonson.”
Sementara itu, di restauran tempat Irma bekerja, wanita muda yang ditolongnya sudah bisa menelpon saudaranya untuk meminta bantuan. Terdengar dari percakapannya bahwa saudaranya akan menjemputnya. Wanita muda itu sangat gembira. Irma pun tampak senang bisa membntu.
Robert berdiri di pintu restauran melihat Irma yang tengah membersihkan meja. Perasaannya campur aduk. Ia semakin mantap untuk mengubah nasib Irma setelah melihat perlaukan Jeb.
“Irma Jhonson” Robert memanggil dengan penuh kehangatan.
Irma menghentikan aktivitasnya. Ia melihat ke arah suara.
“Robert…Robert Durand…oh…” Ia berjalan menuju Robert sambil tersenyum lebar. Robert pun menghampiri Irma sambil tersenyum.
“Apa kabar, teman lama?” Tanya Robert sambil menyambut tangan Irma dan memegangnya untuk memberi perhatian.
“Wah, tidak begitu bagus, Robert.” Jawab Irma.
“Saya turut prihatin dengan kejadian yang menimpa Anda tadi.”
“Saya punya banyak pembeli yang tidak baik, tapi yang satu itu adalah pembeli yang paling buruk.” Irma mengungkapkan kekesalannya pada Robert.
“Irma, Anda layak mendapatkan yang lebih baik. Anda sangat layak mendapatkan yang jauh lebih baik. Saya ingin mendiskusikan proposal bisnis dengan Anda. Apakah saya bisa meminta waktu Anda sebentar?” tanya Robert dengan ramah.
“Oh, tentu…tentu.”
Setelah duduk berhadapan, Robert memulai percakapan. Ia mengutarakan maksud hatinya untuk membeli restaurant itu setelah ia batal mengivestasikan uangnya ke perusahaan Jeb. Ia juga ingin menjadikan Irma sebagai pemilik sekaligus manajer dari restaauran itu.
“Bagaimana tanggapan Anda. Irma?” Tanya Robert.
Irma Jhonson sangat terharu mendengar niat baik Robert. Ia tidak bisa berkata-kata. Matanya pun berkaca-kaca.
“Saya melihat selama ini, bertahun-tahun Anda tidak pernah naik jabatan. Padahal Anda sangat bagus dan berdedikasi tinggi. Saya tahu itu karena Anda selalu mendahulukan teman-teman Anda untuk mendapatkan jabatan itu. Maka, sekarang saya ingin Anda mendapatkan kesempatan itu.”
Lagi-lagi Irma hanya tertunduk sambil menahan rasa haru mendengarkan kalimat itu.
“Anda tidak perlu berterima kasih kepada saya. Saya tidak sedang berbuat baik, tapi saya sedang berinvestasi untuk tempat yang sangat baik dan pada orang yang berhati mulya. Bagaimana kedengarannya, Irma?”
“Sangat menyenangkan.” Jawab Irma dengan senyum lebar dan penuh syukur.
Irma tidak pernah membayangkan ia akan menjadi pemilik sekaligus manajer restauran tempat ia bekerja. Hari itu, ia hanya berpikir bahwa ia sedang diuji dengan pembeli yang sangat sombong. Ketika terjadi masalah dan dunia tampak hancur, bisa jadi Allah sudah menyiapkan kebaikan di depannya. Irma tidak membayangkan bahwa setelah ia diperlakukan tidak hormat oleh Jeb, ia akan mendapatkan kabar gembira.
Bagi Jeb, karena ia adalah pengusaha sukses dan sebentar lagi akan ada yang berinvestasi di perusahaannya, maka ia merasa bisa bebas berbuat apa saja pada orang yang dianggapnya ‘rendah’. Namun ternyata, itu adalah ujung dari malapetaka buatnya. Balasan atas kesombongannya langsung dibayar tunai.
Diadopsi dari cerita “Psycho Bullies The Wrong Grandma”.