Penjarakan Ayah Saya

Penjarakan Ayah Saya

“Pak polisi, penjarakan ayah saya,”

Seorang bocah laki-laki berusia 6 tahun berlari memasuki kantor polisi sambil menangis. Polisi yang ada di sana itu menghentikan pekerjaan mereka.

Siang itu, langit begitu cerah. Semua orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Semua kesibukan di kantor polisi itu tiba-tiba terhenti oleh suara tangisan anak itu.

Seorang polisi wanita mendekati anak itu. Dia jongkok dan bertanya, “Ayahmu kenapa, Nak?”

Anak itu tidak menjawab. Dia terus menangis sambil mengusap matanya dengan tangan kanannya. Polisi lain pun datang dan bertanya, “Apa yang sudah dilakukan ayahmu kepadamu, Nak?”

Anak itu terus menangis.

“Coba ceritakan kepada kami. Apa yang ayahmu lakukan kepadamu.” Polisi wanita itu bertanya sambil mengelus-elus kepala anak itu. “Duduklah di kursi. Tenangkan hatimu, Nak,” lanjutnya.

Anak itu duduk di kursi sambil terus menangis.

“Ibumu di mana, Nak?” Tanya polisi yang lain lagi.

“Ibu sedang pergi jalan-jalan,” jawab anak itu.

Berbagai dugaan hadir di kepala polisi yang ada di sekitar anak itu. Apakah anak itu sudah dianiaya ayahnya? Apakah mungkin ibunya dianiaya oleh ayahnya?

“Di mana ayahmu, Nak?” Tanya sang polisi wanita.

“Di rumah.” Anak itu menjawab sambil terus menangis.

Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, akhirnya beberapa polisi dikirim ke rumah anak itu. Begitu tiba di sana, tidak tampak ada tanda-tanda orang beraktivitas di dalamnya. Rumahnya begitu kecil dan tidak terawat. Sarang serangga banyak menghiasi dinding rumah itu.

“Ayahmu ada di dalam?”

“Ayah sedang tidur.”

Tiga polisi masuk ke dalam rumah. Tidak banyak perabotan rumah di dalamnya. Tampaknya, keluarga anak itu termasuk keluarga yang kurang berpunya. Mereka didera kemiskinan. Sang ayah sedang tidur di kamar. Sesekali terdengar suara batuknya.

“Nak, ayahmu sedang tidur. Mengapa kamu ingin ayahmu dipenjara?”

“Tadi saya menonton TV. Di TV diberitakan bahwa orang yang berada dipenjara mendapatkan makan tiga kali sehari. Ayah saya sering tdak makan. Ketika ada makanan, dia memilih untuk memberikannya pada saya. Dia sering menahan lapar demi saya. Jadi saya ingin ayah saya dipenjara agar ayah bisa makan tiga kali sehari. Saya kasihan pada ayah.”

Semua yang mendengar pengakuan anak itu tiba-tiba kelu lidahnya. Dada mereka bergemuruh.

Sang ayah terbangun. Dia menemui polisi yang sudah ada dalam rumahnya.

“Ada apa ini? Mengapa di rumah saya ada banyak polisi?”

“Anak Anda tadi datang ke kantor dan meminta kami untuk memenjarakan Anda.”

Tentu sang ayah terkejut dengan jawaban itu.

“Menagapa kamu ingin ayah dipenjara, Nak?” Tanya sang ayah.

“Aku ingin ayah bisa makan setiap hari.” Jawabnya singkat.

Sang ayah memeluk anak itu. Air matanya tak terbendung.

“Maafkan anak saya, bapak dan ibu polisi. Ibu anak ini sudah lama meninggal. Tapi saya tidak bilang padanya. Saya hanya bilang bahwa ibunya sedang pergi jalan-jalan. Jadi di benak anak ini, ibunya akan kembali.”

Suasana pun hening.

“Semenjak ibunya meninggal, saya kehilangan pekerjaan. Untuk makan sehari-hari tidak selalu tersedia. Jadi ketika saya hanya punya sedikit makanan, saya berikan untuk anak saya.”

Kini teka-teki itu mulai terjawab.

Sebelum kembali ke kantor, para polisi itu membelikan makanan untuk sang ayah dan anaknya. Kemudian mereka berpamitan. Anak itu pun berhenti menangis.

Keesokan harinya, ada yang mengetuk pintu rumah kecil yang tidak terawat itu. Ada beberapa polisi yang datang membawakan makanan. Selain itu, ada juga beberapa orang dari oraganisasi kemanusiaan yang datang membawakan mainan dan banyak makanan untuk ayah dan anaknya. Tak lama setelah itu, sang ayah mendapatkan pekerjaan. Mereka bisa hidup normal kembali.

 

 

Diadaptasi dari sebuah cerita pendek berbahasa Inggris.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga