Kisah Petani dan Embernya
Ada seorang petani tua yang tinggal di daerah pegunungan. Ia hidup sendiri di sebuah rumah sederhana. Air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari ia dapatkan dari mata air yang letaknya jauh dari rumahnya.
Ia memiliki dua ember yang ia gunakan untuk mengambil air setiap harinya. Dari dua ember itu, satu masih bagus dan tidak pernah meneteskan air. Sedangkan ember yang satu lagi sudah retak dan terus menerus bocor.
Waktu pun berlalu. Ember yang retak itu makin banyak mengeluarkan air yang dibawa dengan susah payah oleh petani tua itu. Ia pun merasa sedih. Air yang tadinya penuh, tinggal setengahnya saja ketika tiba di rumah. Ia memberanikan diri untuk berbicara dengan pak petani.
Pak petani menyimak apa yang dikatakan oleh ember retak. Ia merasa tidak berguna. Ia juga merasa bersalah karena air yang dibawa pak petani selalu berkurang banyak. Pak petani mengerti kesedihan ember retak.
Kemudian pak petani mengajak ember retak itu berjalan melewati jalanan yang setiap hari dilewatinya. Kali ini, pak petani menunjuk pada tumbuhan dan bunga-bunga yang bermekaran di sisi jalan itu.
“Lihatlah tanaman yang tumbuh subur di sisi jalan yang kita lewati. Bunga-bunga pun bermekaran menawan hati. Kupu-kupu akhirnya berdatangan menghinggapi bunga-bunga itu”
‘Iya, Pak”
“Semua itu karena jasamu.”
“Bagaimana bisa, Pak?”
“Setiap hari, air yang keluar darimu menyirami mereka. Jadi, sebenarnya kaulah yang menjadi sumber keindahan itu.”
Ember retak tak henti-henti melihat keindahan yang ada di sisi jalan yang selalu ia lewati. Bahkan baru kali ini ia merasa terkagum-kagum karena selama ini ia tak pernah memperhatikannya.
“Jika saja kau tak menumpahkan air setiap hari, tanaman itu tidak akan tumbuh. Bunga-bunga pun tidak akan bermekaran,” imbuh pak petani.
Ember retak pun akhirnya menyadari bahwa dibalik kekurangannya, ia tetap bisa membantu makhluk hidup di sekitarnya. Bahkan saat ia tak menyadarinya.