Brongkos Kacang Tolo
Di Yogya, kata yang digunakan untuk menyebut sayur adalah jangan. Saya teringat salah satu adegan film komedi lama di tanah air yang dibintangi entah oleh warkop DKI atau siapa, saya lupa. Dalam adegan tersebut, sang bintang sedang bertamu ke orang asli Yogya. Tibalah waktu makan siang. Sang bintang diajak ke ruang makan untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan oleh si pemilik rumah.
Ada dialog menarik saat sang bintang bertanya kepada si pemilik rumah yang menyajikan tiga jenis sayuran di meja makan. Setiap bertanya dengan menunjukkan mangkok berisi sayur, “Ini apa?‘, si pemilik rumah selalu menjawab ‘Jangan.” Akhirnya dia makan dengan sambal saja. Si pemilik rumah merasa heran. Bertanyalah ia pada sang bintang, “Mengapa kau makan hanya dengan sambal? Apa tidak tertarik dengan sayur masakan istri saya?” Sang bintang pun menjawab, “Tadi saat aku tanya, kau selalu jawab jangan. Jadi aku pikir aku tak boleh mengambilnya.” Si tuan rumah pun tertawa terbahak-bahak. Lalu dia menjelaskan bahwa kata jangan itu berarti sayur. Dia pun akhirnya minta maaf dan menyuruh tamunya untuk menikmati sayur yang dihidangkan.
Saya sedang merindukan jangan brongkos saat ini. Jangan tersebut adalah masakan khas Yogyakarta dan Jawa Tengah. Isian utamanya adalah kacang tolo. Saya suka sekali kacang tolo ini. Yang membuat berbeda dari jenis jangan lain adalah keluweknya. Jadi santannya berwarna coklat gelap karena keluwek tersebut. Biasanya selain tolo, juga ditambahkan kerupuk kulit (di Yogya disebutnya kerupuk rambak), kulit melinjo, tahu, telur rebus dan daging lemak (sandung lamur). Untuk daging bersifat optional. Santan yang digunakan adalah santan yang kental, sehingga nikmat sekali rasanya.
Dulu, para orang tua mengatakan bahwa jangan itu akan semakin nikmat ketika sudah dipanaskan (dinget dalam bahasa Jawa). Kuah santannya akan semakin “nglendhi“. Entah apa bahasa Indonesianya dari kata tersebut. Yang jelas, rasanya semakin nikmat. Jika sekarang banyak orang mengatakan bahwa sayur yang sudah dipanaskan itu tidak sehat, maka untuk jangan brongkos adalah sebuah perkecualian. Biarlah tidak sehat, yang penting semakin nikmat rasanya. Begitulah kata para orang tua dulu.
Duh, saat ini bayangan jangan brongkos panas dengan aroma khasnya menari-nari di benak saya.