Bahagia itu Sederhana

Bahagia itu Sederhana

“Sayur…sayur…sayuuuuurrr buibu,” suara Mang Hasan terdengar mendekati rumah Linda. Mang Hasan adalah satu-satunya tukang sayur yang berjualan keliling perumahan dan menjadi langganan ibu-ibu di perumahan tersebut. Setiap hari sekitar jam 8 dia mulai berkeliling. Jualannya terhitung lengkap, jadi ibu-ibu tidak perlu ke pasar untuk membeli sayuran dan aneka bahan lauk pauk yang dibutuhkan. Dia juga menerima pesanan lewat WA. Biasanya pada sore atau malam hari sebelumnya, siapa saja yang ingin memesan aneka macam belanjaan mengirim pesan. Dan pagi hari saat Mang Hasan lewat tinggal membayarnya.

Linda yang sudah menunggu lama bergegas keluar rumah menghampiri Mang Hasan yang sudah berhenti dan beridiri di samping gerobak sayuran tepat di depan rumahnya. Linda adalah salah satu pelanggan Mang Hasan. Jika dia membutuhkan banyak belanjaan, dia akan mengirim pesan lewat WA. Tetapi jika yang dibutuhkan hanya sedikit, dia memilih untuk membelinya ketika dia lewat saja.

“Mang, ada ati ampela nggak?” tanya Linda.

“Ada, Bu. Tinggal ¼ kg lagi. Mau masak apa nih, Bu?” tanya Mang Hasan sambil memasukkan ati ampela ke kantong belanja yang disodorkan Linda kepadanya. Mang Hasan memang terkenal supel dan ramah kepada siapa saja. Tak heran banyak pelanggan di perumahan tempat Linda tinggal.

“Mau bikin sambel kentang ati ampela, Mang. Ada kentang nggak, Mang?”

“Ada, Bu. Ini seplastik setengah kiloan. Cabe masih ada nggak, Bu? Bagus-bagus nih cabenya.”

“Cabenya masih ada, Mang. Kerupuk aja sama lengkuas ya.”

“Siap, Bu.” Mang Hasan tampak sibuk memasukkan semuanya ke kantong belanja.

“Berapa semuanya, Mang?” tanya Linda sambil merogoh uang yang ada di dalam kantong baju panjangnya.

“Total delapan belas ribu rupiah, Bu.”

“OK.” Linda mengambil kantong belanja sambil mengulurkan uang dua puluh ribuan ke Mang Hasan.

Mang Hasan pun kemudian sibuk memasukkan uang ke tas selempangnya sambil mencari uang kembalian.

“Nggak usah dikembaliin, Mang.”

“Wah, ibu mah selalu gitu. Nggak pernah nawar, trus klo ada uang sisa seribu dua ribu rupiah nggak pernah diminta. Makasih banyak ya, Bu.”

“Sama-sama, Mang. Semoga laris jualannya dan berkah rezekinya, Mang.”

“Aamiin yra. Semoga rezeki ibu tambah berkah dan melimpah. Dan semoga Ibu sekeluarga sehat selalu.” Mang Hasan mengusap kedua tangannya sambil mengamini do’anya.

”Aamiin yra” sahut Linda.

Linda pun kemudian berjalan menuju pintu rumahnya. Sementara Mang Hasan melanjutkan perjalanannya keliling perumahan. Tiba-tiba dari belakang  ada suara memanggilnya.

“Bu, tunggu sebentar.”

“Eh, Bu Nur. Dari mana, Bu? Tanya Linda kepada bu Nur, tetangganya yang rumahnya hanya berselang beberapa rumah.

“Dari depan, Bu. Ke Alfa***t beli kebutuhan bulanan,” jawab Bu Nur sambil berjalan mendekatinya.

“Ada apa, Bu?”

“Tadi saya mendengar percakapan Ibu dengan Mang Hasan. Saya penasaran kenapa Bu Linda nggak pernah nawar dan nggak pernah minta kembaliannya jika hanya seribu atau dua ribu rupiah, Bu?”

“Oh, itu. Saya ingin membuat orang lain gembira, Bu Nur. Ketika bisa menggembirakan orang lain, maka hati kita juga ikut gembira. Bahagia itu sesederhana itu, Bu. Jika nggak bisa berbuat lebih banyak kebaikan dengan uang dalam jumlah banyak, ya dengan begitu tadi Bu cara saya.”

“Bener juga ya, Bu. Senang lihat orang lain senang itu sangat membahagiakan. Pantas saja Bu Linda selalu terlihat tenang hidupnya. Ternyata gemar menggembirakan orang lain. Nanti saya juga akan mencoba seperti itu ach,” kata Bu Nur sambil tersenyum.

“Waduh, jadi seneng nih saya bisa menginspirasi orang lain, hehe…”

“Makasih ya, Bu Linda ilmunya. Saya pamit dulu. Anak-anak sudah menunggu di rumah,” kata Bu Nur sambil menjabat tangan Linda.

“Asalamu’alaikum, Bu Linda.”

“Wa’alaikumsalam, Bu Nur.”

Linda bergegas  membuka pintu rumah dan berjalan menuju dapur untuk bersiap memasak sambal kentang ati ampela. Dia memasak dengan gembira.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga