Hati yang Selesai

Hati yang Selesai

Judul ini saya adopsi dari ceramah budayawan ternama di tanah air – Emha Ainun Najdib yang juga dikenal dengan sebutan Cak Nun. Saya suka sekali dengan karya-karya beliau, baik yang berupa puisi maupun tulisan-tulisan beliau yang isinya selalu menggelitik kesadaran pembacanya. Pilihan diksinya menggambarkan kecerdasan dan keluasan ilmu beliau. Kadang saat membacanya saya kesulitan mencerna, setelah dibaca ulang baru saya faham maksudnya.

Salah satu tulisan yang saya suka dan saya jadikan pedoman untuk menjaga hati saya adalah tulisan yang berjudul Hati yang Selesai yang terdapat dalam buku Kitab Ketentraman dari Khasanah Emha Ainun Nadjib. Buku ini bukan karya beliau, tetapi karya orang lain yang merupakan catatan tentang sosok Cak Nun dan rangkuman mengenai pemikiran-pemikiran beliau yang diambil dari berbagai kesempatan dan acara. Membaca buku tersebut serasa seperti sedang hadir di salah satu acara Padang Bulan dengan Kyai Kanjeng sebagai pengisi acaranya.

Hati yang selesai menggambarkan kondisi hati yang terbebas dari iri, dengki, keluhan, dan sumpah serapah. Bukan hati yang dirundung penyakit, yang tidak pernah selesai. Metafor yang digunakan dalam tulisan tersebut adalah seorang tukang becak yang selalu mengeluh dan tidak rela dengan kondisi dirinya. Ia tidak pernah ikhlas dengan pekerjaannya. Tukang becak tersebut selalu memandang pekerjaan orang lain lebih mulia dari pekerjaannya. Profesi orang lain dianggap menghasilkan kekayaan yang berlimpah dibanding profesinya.

Hatinya dipenuhi kerewelan yang mubadzir. Hatinya tak kunjung selesai. Demikian Cak Nun menggambarkan orang tersebut. Energi pikirannya tidak digunakan untuk memperbaiki diri agar kehidupannya semakin baik. Dan yang paling celaka tukang becak tersebut diam-diam bercita-cita mendapatkan peluang untuk mencuri (berbuat curang) sehingga dapat merasakan apa yang orang lain rasakan.

Tukang becak itu bisa juga seorang politisi, seorang pengusaha, seorang pejuang karir pribadi, bisa juga seniman, penyanyi, ustadz, guru, atau siapa saja. Itu hanya metafor. Itu berarti bahwa siapa saja dapat memiliki hati yang tak selesai, berpenyakit, dan penuh dengan kerewelan yang mubadzir. Cak Nun menambahkan tukang becak itu lupa bahwa menjadi hidup yang mulia adalah hidup yang benar dan baik. Menjadi orang biasa tetapi jujur dan santun lebih baik daripada menjadi pejabat yang curang dan korup. Menjadi tukang yang setia, tekun, dan amanah lebih tinggi derajatnya dibandingkan direktur yang culas, licik, tak tahu malu, dan egois.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga